Rabu, Mei 27, 2009

Terus Bertahan Meski tak Ada Tunjangan

SEUSAI perang, antara tahun 1949-1950, brigade-brigade yang beranggotakan pemuda pejuang banyak yang dibubarkan karena ketidakmampuan negara untuk membiayai keberadaan mereka. Para pemuda itu pun tak protes ketika tenaga mereka tak dibutuhkan lagi.



Untuk bertahan hidup, berbagai jenis pekerjaan pernah mereka tekuni. Icun sempat menjadi penarik becak selama 21 tahun. Tempat mangkalnya di sekitar Jln. Cikaso, Kota Bandung. Sarpin sempat bekerja di bengkel. Sedangkan Dimyati sempat membuka usaha sendiri, menjadi pembuat panci, wajan, dan barang-barang rumah tangga yang terbuat dari aluminium. Soleh pun menjalani kehidupan serupa. Sejak kembali dari Tasikmalaya, dia bekerja serabutan untuk mendapatkan nafkah.

"Sebagai orang-orang yang pernah ikut perang mempertahankan kemerdekaan, kami tidak pernah mendapat tunjangan apa pun," kata Icun.

Kehidupan ekonomi mereka, sejak perang usai sampai hari ini, hampir selalu morat-marit. Mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat yang tinggi. Icun misalnya, hanya memiliki satu anak yang bisa lulus SMA, sedangkan enam anak lainnya hanya lulus SD.

Saat lima lelaki itu memasuki usia senja, anak-anak mereka juga tak mampu menopang kehidupan para ayahnya. Mereka pun mulai berpikir, seandainya bisa mendapat tunjangan bulanan, tentulah kehidupan tidak akan terlalu sulit.

Tahun 2005, datang seseorang yang mengaku berasal dari lembaga Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia (PKRI). Orang itu mengajak Soleh, Icun, Sarpin, Ule, dan Dimyati untuk bergabung. Setiap veteran perang yang bergabung di PKRI, dijanjikan untuk mendapat tunjangan bulanan Rp 520.000,00 per bulan. Beberapa syarat harus dipenuhi, termasuk uang administrasi Rp 1,25 juta. Total jumlah uang yang harus diberikan oleh setiap veteran mencapai Rp 2 juta.

Mereka pun bergabung dengan PKRI. Semuanya meminjam uang pada rentenir untuk membayar biaya administrasi dan lain-lain. Setelah membayar, mereka mendapatkan surat keputusan yang menyatakan bahwa mereka sebagai anggota PKRI, kartu tanda pengenal, dan kemeja batik. Namun, tak sepeser pun uang tunjangan yang pernah mereka terima.

"Kami tertipu mentah-mentah. Saya tidak habis pikir, ada orang yang tega menipu veteran perang yang tua dan miskin seperti kami," kata Icun.

Lebih sial lagi, ketika ada program Bantuan Langsung Tunai (BLT), tak seorang pun dari lima veteran itu yang mendapat jatah. Karena tidak memiliki pilihan lain untuk bertahan hidup, lima lelaki itu bersepakat untuk mengamen bersama. Setiap hari, jika tak ada masalah kesehatan, Soleh, Sarpin, Ule, dan Dimyati, berjalan kaki dari bilangan Jln. Pajajaran, Bandung ke rumah Icun di Cikaso. Dari rumah Icun, perjalanan mengamen dimulai. Hasil mengamen itu pun tidak banyak. Sebuah keajaiban jika dalam sehari bisa mendapat Rp 100.000,00 di dalam kotak kencleng yang mereka bawa. Jumlah itu pun masih harus dibagi lima.



Di usia yang renta, tidakkah mereka kelelahan jika setiap hari harus mengamen? "Jangan tanya, capeknya seperti apa. Tapi mau bagaimana lagi? Kami tidak memiliki pilihan lain untuk mendapatkan uang," kata Sarpin. (Zaky Yamani/"PR")***

0 komentar: