Selasa, Juni 02, 2009

JADILAH ALANG2 JANGAN JADI POHON KELAPA

Saya lahir dan besar di kota Tegal – Jawa Tengah, tepatnya di Dukuh Siadem, Desa Randugunting, Kecamatan Tegal Barat. Dulu, disamping rumah saya terbentang sawah yang luas, Sawah Siadem, demikian sering disebut orang. Di tengah sawah tersebut terdapat bagian tanah yang agak tinggi dan kering, yang ditumbuhi rumput dan alang-alang, serta beberapa batang pohon kelapa.

Ada satu dua pohon kelapa yang sudah tumbang dan gelugu-nya (batang kelapa) berserakan tidak diambil orang, dan disanalah saya dan kawan-kawan sering bermain bola disore harI ketika hari tidak hujan. Sawah Siadem itu sekarang sudah tidak ada lagi, berganti rupa menjadi kompleks perumahan, bahkan disitulah terdapat Mesjid Siadem yang kawan-kawan saya dari Jakarta sering mampir untuk shalat kalau kebetulan lewat di kota Tegal.

Bayangan keadaan masa lalu itu tidak pernah hilang dari ingatan saya, karena almarhum Bapak saya, kepala sekolah satu-satunya Sekolah Teknik Menengah di Tegal waktu itu, sering berkata kepada saya “Nak, kalau kamu besar nanti, jadilah alang-alang, jangan jadi pohon kelapa” sambil beliau menunjuk kearah tanah lapang tersebut dari emperan rumah saya. Tentu saja saya tidak mengerti maksud kata-kata itu. Barulah setelah saya dewasa dan tinggal di Jakarta beliau menerangkan maksud perkataannya, yang kurang lebih demikian:

Banyak diantara kita sering mendengar nasihat untuk menjadi orang yang selalu tegak (istiqomah) dalam menjalankan prinsip-prinsip hidup yang luhur. Menjadi orang yang baik, jujur, disiplin, berani, selalu benar, orang yang bisa menjadi teladan, yang sempurna, hati-hati, jangan sampai salah, sebab kesalahan setitik dalam hidup kadang-kadan akan menjadi aib seumur hidup yang sulit untuk dihapus. Di USA dimana saya pernah tinggal selama lima tahun, mereka bahkan punya motto “be number one, no place for the second”. Dalam era hidup penuh kompetisi, motto ini sangat masuk akal dan banyak dianut, bahkan saya pun pernah terobsesi mencoba selalu menjadi yang terbaik atau yang nomor satu dalam lingkungan saya.

Namun, kata Ayah saya, sifat menggapai kesempurnaan yang mendarah mendaging ini, sering membawa bahaya, yaitu suatu kekecewaan yang bisa berlanjut menjadi putus asa, ketika karena suatu musibah menimpa dan memporak porandakan kondisi kesempurnaan yang selalu dipertahankan itu.

Orang yang selalu menjadi juara dikelasnya, kadang-kadang sulit dan kecewa secara berlebihan ketika karena suatu hal dia tidak dapat lagi menjadi juara dikelasnya. Orang yang selalu dihormati karena kekayaan atau prestasinya kadang-akan kecewa ketika tidak lagi kaya atau dapat mempertahankan prestasinya. Kekecewaan itu begitu mendalam sehingga tidak sanggup lagi ditanggung oleh jiwanya yang tidak pernah terlatih menerima kegagalan.

Saya pernah menyaksikan kerabat saya, sebuah keluarga berdarah biru yang nyaris sempurna, kaya, berpendidikan tinggi, tokoh mayarakat yang selalu menjadi panutan dikota masa kecil saya, tiba-tiba belakangan salah satu anaknya menjadi pecandu narkoba berat dan salah satu anak perempuannya hamil di luar nikah sehingga menjadi gunjingan yang sangat memalukan dikota itu, sehingga bapak dan ibunya sakit, stress dan akhirnya stroke, karena tidak tahan menghadapi musibah ini.

Banyak tokoh selebritis dunia, seperti Mike Tyson, Michael Jackson, yang kemudian “menghilang” dari kehidupan publik, karena tidak dapat menanggung “malu” setelah tidak dapat lagi mempertahankan posisi “numero uno” dan bahkan ditimpa kemalangan dibidang financial dan tuntutan hukum atas suatu perbuatan mereka yang diangap salah.

Ini persis seperti yang digambarkan oleh sebatang pohon kelapa. Sejak kecil dia tumbuh besar dan selalu menjulang menjadi tinggi tanpa hambatan. Kokoh tidak bergeming ketika datang angin maupun hujan. Namun ketika badai demikian besar dan dia tidak sanggup lagi untuk menahannya, maka sang pohon kelapa itu akan tumbang dan tidak akan pernah bangun lagi! Ini bukan gambaran sifat yang dikehendaki oleh kita.

Sebaliknya, lihatlah alang-alang. Dia tumbuh dengan alami pada tempat yang cocok buat dia. Ketika angin kencang datang, maka batang tubuhnya akan tunduk mengikuti arah angin bahkan kadang sampai rata dengan tanah. Tetapi ketika angin kencang berhenti, dia akan tegak lagi seperti semula. Bila datang musim kering, bahkan ketika dibakar api oleh orang kampung, mereka seakan lenyap dan punah, tetapi ketika hujan kembali turun mereka akan tumbuh subur seperti sediakala. Ketika banjir melanda mereka “kentir” terbawa arus, mereka akan tumbuh lagi dan bahkan semakin lebat dari sebelumnya.

Itulah sifat ulet dan tahan uji, keyakinan untuk bangkit kembali dari kegagalan, yang perlu kita miliki. “To err is humane” kata orang Barat, berbuat salah adalah manusiawi. Belakangan saya menemukan justifikasi atas kodrat kelemahan kita sebagai manusia yang justru harus dapat kita terima. Dalam suatu hadits Rasulullah SAW (maaf saya mengambil referensi Islam, karena saya orang Islam), yang mengatakan bahwa “Allah SWT senang pada orang yang suka bertobat. Ketika terdapat suatu kaum yang sempurna dan tidak pernah berbuat salah, mereka akan segera dimatikan, dan diganti oleh Allah dengan suatu kaum yang sering berbuat salah namun atas kesalahannya itu mereka bertaubat” Dalam hadits yang lain Rasullulah SAW juga bersabda, “Jikalau Allah SWT mencintai suatu kaum, maka dia akan memberikan cobaan kepada mereka (dan Allah juga akan memberikan pertolongan kepada mereka)”

Moral dari gambaran ini sebenarnya sederhana : jadilah manusia yang hidup baik secara alami, tidak usah ngoyo untuk menjadi sangat sempurna, tapi punyailah keuletan dan sifat tahan uji menerima kegagalan dan selalu bisa bangkit kembali.

Ayah saya pernah juga berpesan dalam bahasa Jawa “urip kuwe sing kepeneak wae, nanging ojo sak kepenake” (hidup itu yang enak saja/santai saja, tapi jangan seenaknya). Entah apa persis maknanya, saya masih mencarinya sampai sekarang.

Cerita ini saya tutup dengan kisah musibah yang menimpa saya dan saya terbangun kembali oleh prinsip diatas. Tahun 1980 saya pernah menderita sakit di perantauan, saya terkena sakit thypus yang sangat parah. Setelah beberapa lama tergeletak sakit dirumah, satu bulan lamanya saya harus dirawat di RS Elisabeth Medan dalam keadaan hampir mati. Badan kurus kering, liver saya membengkak, juga dinyatakan gagal ginjal oleh dokter setempat. Singkatnya, dokter menyatakan saya adalah seorang invalid yang sulit untuk sembuh kembali. Yang lebih menyedihkan dalam keadaan terbaring di RS, saya diminta berhenti oleh atasan saya sebagai PNS karena sudah terlalu lama tidak bisa bekerja. Habis sudah riwayat saya, juga malu karena saya anak lelaki tertua yang sudah bekerja yang selama ini menjadi kebanggan keluarga saya. Kekecewaan saya terhadap masa depan saya justru lebih menyakitkan dari pada rasa sakit yang saya derita saat itu. Stress dan putus asa melanda jiwa saya, sampai saya tidak berani mengabarkan kondisi saya itu kepada orang tua saya. Namun Allah SWT kemudian menolong saya dengan kejadian yang tidak pernah saya lupakan.

Disuatu pagi, munculah Ayah saya di kamar RS. saya dirawat. Belakangan saya tahu beliau yang sudah pensiun, terpaksa harus berhutang untuk membeli tiket pesawat ke Medan yang sangat mahal waktu itu (dan itu adalah pertama kalinya beliau naik pesawat).

Setelah beliau melihat kedaan saya dan mendengar kisah saya tersebut, beliau mengatakan sesuatu yang selalu saya ingat sampai sekarang karena kata-kata tersebut telah menjadikan saya dari sebatang pohon kelapa yang telah roboh menjadi alang-alang yang mampu tegak kembali sampai saa ini.

“Nak, kalau betul kamu dinyatakan invalid oleh dokter, saya masih bersyukur kepada Allah SWT, sebab sakit yang kamu derita adalah sakit badanmu, jiwamu masih sehat. Banyak orang yang badannya sehat tapi jiwanya sakit, merekalah orang yang tidak punya harapan untuk hidup. Dan seandainya kamu benar-benar harus keluar sebagai PNS, Bapak tidak kecewa. Mari kita pulang ke Tegal, Bapak masih punya sawah beberapa petak disamping rumah, saya yakin itu masih cukup untuk memberi makan kita sekeluarga.”

Kata-kata Bapak saya seperti air dingin yang membangkitkan diri saya dari tidur. Besoknya dalam keadan ditandu saya dibawa pulang ke Tegal, dan berobat secara tradisional. Alhamdulillah sebulan kemudian saya dapat kembali bekerja, dan tidak jadi diberhentikan dari status saya sebagai PNS. Sekarang, setiap kali saya ditimpa musibah, saya teringat kepada lapangan dan alang-alang itu, saya juga merindukan Bapak saya yang telah tiada. Mudah-mudahan Allah SWT menerima amal baiknya.

Mudah-mudahan cerita ini dapat menjadi inspirasi yang bermanfaat bagi mereka yang memerlukan.

Salam
Bambang Kusumanto

0 komentar: