Minggu, Desember 28, 2008

Ibadah, Antara Kualitas dan Kuantitas

Bismillah,

Malam itu, usai saya sholat tarawih di sebuah masjid, dengan jumlah raka’at tarawih sebanyak 20 raka’at, saya merenung dan berpikir ulang mengenai ibadah. Perenungan dan pemikiran ulang mengenai ibadah muncul setelah saya melihat (kembali) praktik ibadah yg dilakukan oleh (sebagian besar?) umat Islam (mungkin saja dilakukan di banyak tempat, tapi saya fokuskan di Indonesia dahulu).

Seperti judul artikel ini, saya berpikir ulang mengenai ibadah, antara kualitas dan kuantitas. Sebenarnya, ibadah seperti apa yg diharapkan serta diperintahkan oleh ALLOH SWT (dan Rasul-Nya) kepada umat-Nya? Apakah berlomba-lomba memperbanyak sholat, haji, dst dst, ataukah hanya ibadah seperlunya (dan sesempatnya)?

Sebelum saya membahas lebih lanjut mengenai hal ini, saya ingin mengingatkan mengenai egoisme ibadah yg pernah saya tulis tempo hari. Dalam artikel itu, saya tuliskan bahwa ibadah kita hendaknya berorientasi kepada aspek sosial, tidak hanya kepada keinginan pribadi saja.

Lalu, apa hubungannya dengan kualitas dan kuantitas?

Begini, kita ketahui bahwa umat Islam (di Indonesia) masih banyak yg cenderung (dan silau) kepada ibadah dengan kuantitas sebagai titik acuan. Saya ambil contoh untuk memudahkan ilustrasi ini. Masyarakat (Muslim) Indonesia akan lebih menghormati orang-orang seperti berikut:
- Berulangkali naik haji
- Menyumbang/memberi dana pembangunan masjid dengan jumlah cukup besar
- Berqurban sekian belas kambing dan sapi
- Mampu membangun masjid di mana-mana
- Dan masih banyak lagi

Sementara, orang akan cenderung melecehkan (menganggap rendah) orang-orang yg:
- Bertutur sopan dalam bergaul
- Menghormati pendapat orang, apabila berdiskusi
- Bersedekah dari pendapatannya yg tidak seberapa
- Dan masih banyak lagi

Maka, jelas bukan bahwa “Pak Haji” akan semakin terkenal apabila dia berulangkali naik haji dan gemar menyumbang di sana sini. Sementara kaum ‘tidak berpunya’ seakan tidak ada ‘kesempatan’ untuk menjadi ‘terkenal’.

Tapi, jangan salah dulu. Keterkenalan dan hal2 lain itu, semuanya kan dalam pandangan manusia. Bagaimana dalam pandangan ALLOH SWT? Belum tentu orang yg berulangkali naik haji, hajinya termasuk dalam haji yg mabrur.

Sebuah cerita mengenai seorang hamba ALLOH SWT yg memilih mengorbankan bekal hajinya, untuk diberikan kepada tetangganya, yg karena perbuatannya itu haji seluruh orang di tahun itu diterima ALLOH SWT, merupakan salah satu contoh bahwa KUALITAS LEBIH PENTING DARIPADA KUANTITAS.

Tentu saja, idealnya, kualitas dan kuantitas berjalan beriringan. Karena itulah puncak keimanan dan ibadah dari seorang hamba ALLOH SWT.

Kembali kepada fenomena sholat tarawih yang saya alami.

Dalam sholat tarawih 20 raka’at, sebenarnya saya tidak ada masalah dengan jumlah raka’atnya. Sayapun seringkali sholat tarawih dengan berbagai macam jumlah, entah itu 8 atau 20 raka’at. Seperti yg pernah saya tulis di blog ini, mengenai jumlah raka’at sholat tarawih, semuanya mempunyai dalil yang sama kuatnya. Jadi, bukan hal yg penting untuk diperdebatkan, apalagi hingga mencapai tahap debat kusir, debat tidak berkesudahan tanpa nalar dan keinginan untuk mencari solusi.

Yang menjadi masalah, adalah perilaku imam2nya pada saat sholat. Mereka BEGITU CEPAT membaca Al Fatihah dan surat lainnya. Bahkan, saking cepatnya, sang imam sempat salah membaca Al Ikhlas.

Suatu hal yg menyedihkan, menurut saya. Apa sebab, DEMI MENGEJAR JUMLAH RAKA’AT, mereka (para imam) cenderung tidak mempedulikan lafazh dan KETARTILAN bacaan Al Qur’an. Padahal, insya ALLOH, semua jumlah raka’at tarawih akan diterima-Nya. Janganlah terlalu pusing dengan jumlah raka’at.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kualitas ibadah itu lebih penting.

Lantas, jika begitu, ibadah bisa ’seenaknya’ dong? Kan, yg penting kualitas?

Nah, ini sikap yg salah juga, apalagi sampai mengambil kesimpulan seperti itu.

Sebuah cerita di jaman Rasululloh SAW, bisa menjadi contoh. Saya tidak ingat persis cerita lengkapnya, jadi saya akan ambil intinya saja. Tiga orang datang ke rumah Rasululloh SAW. Mereka bertemu dg Aisyah untuk bertanya tentang cara ibadah Rasululloh SAW.

Usai mendapat jawaban Aisyah, si A berkata bahwa dia akan sholat terus-terusan sepanjang sisa hidupnya. Si B berniat akan puasa terus dan tidak akan berbuka. Sementara si C berkata dia akan mendedikasikan hidupnya bagi ALLOH SWT dan tidak akan menikah.

Saat Rasululloh SAW mengetahui hal ini, beliau menasehati ketiga orang tersebut. Bahwa beliau beribadah itu SEIMBANG ANTARA KUALITAS DAN KUANTITAS. Beliau berkata, bahwa beliau sholat tapi juga ada waktunya untuk mencari dunia (kerja). Beliau tidak terus menerus berpuasa, tapi ada saatnya berbuka. Dan beliau tetap menikah, tidak lantas mengasingkan diri.

Sebagai penutup, saya ceritakan lagi sebuah hadits dari Rasululloh SAW. Amal (kebaikan) yang disukai ALLOH SWT ialah yang langgeng meskipun sedikit. (HR. Bukhari). Dalam hadits itu, kembali kita bisa baca secara gamblang, Rasululloh SAW tidak menyinggung JUMLAH, tapi KUALITAS.

Semoga kita tidak lagi terjebak untuk ‘membabi buta’ mencari kuantitas ibadah, sementara kualitasnya terbengkalai.

0 komentar: