Sabtu, April 04, 2009

DERAJAT YANG TINGGI

Khayalan yang manis inilah yang senantiasa bermain dalam rongga jiwanya dalam perjalanan menuju lapangan udara.
Yah, inilah kapal udara yang akan membawanya kembali ke tanah airnya yang tercinta. Inilah yang menyebabkan dia sekarang berjalan cepat-cepat menuju rumahnya. Ini pulalah yang menyebabkan ia melangkah dalam taman itu pelan-pelan dan mencari-cari dengan matanya. Di manakah Yasmin berada?


Ia mulai melihat ke kanan dan ke kiri dengan keraguan-raguan. Di manakah putri kecilnya yang tercinta itu ? Mengapakah ia meninggalkan tempatnya yang baik itu di antara pohon-pohon mawar yang indah? Mulai ia berteriak: “Yasmin! Yasmin!” Tetapi tiada jawaban yang didapatkan. Ia mencari anaknya itu ke salah satu rumah familinya. Perempuan dalam rumah itu menerima dengan agak luar biasa. Pandangan penuh kasihan terlihat di matanya. Kedua bibirnya terkunci tak bisa bicara. Ia berteriak di depan perempuan itu dan mengguncang-guncangnya. “Apa? Bagaimana?”
Perempuan itu tak memberikan jawaban. Perempuan itu berdiam diri seperti patung dari batu.
Laki-laki itu bertambah bingung. Mulai ia menaiki tangga dan mengetuk pintu dengan sepakan kakinya. Ia masuk ke kamar tidur anaknya. Ia berdiri di tengah-tengah kamar tidur itu. Segala sesuatu bisu hingga udara kamar itu dirasakannya sangat berat, hampir menyesakkan napas. Di manakah suaranya? Di manakah ketawanya? Di manakah senyumnya yang memancar manis? Di mana? Di mana?
Ia berteriak sekeras-kerasnya: “Yasmin!” Yang terdengar hanyalah gema teriakannya itu sebagai jawabanya. Mulailah ia mengarahkan pandangannya ke tempat tidur yang bisu itu, hendak melihat apakah ia sedang tidur ataukah sedang sakit. Istrinya telah berada di belakangnya. Tatkala ia membuka kelambu anaknya itu, ia tidak melihat apa-apa. Istrinya berkata dengan sangat lemah:
“Ia di sana. Kami telah membawanya ke rumah sakit.”
Mendengar itu, ia terus meluncur ke rumah sakit seperti roket tak berbelok-belok. Kembang duka cita mulai membisik ke dalam hatinya, membangkitkan kerinduannya lebih hebat lagi. Di pintu rumah sakit ia disongsong oleh pemberita kematian. Hilang semangatnya. Ia bersandar ke dinding hendak mencari pegangan, agar ia tak jatuh. Berputar bumi dirasakannya. Rumah, kendaraan, dan manusia turut berpusing. Ia sempoyongan dan jatuh berguling-guling. Keringat membasahi sekujur badannya.
Yasmin telah pergi. Pergilah dengan kepergian segala-galanya. Mulailah ia menepukkan tangannya dan mengigau. “Beginikah? Cepat sekali, tanpa ada pendahulunya. Cepat sekali, tanpa ada peringatan. Apakah ini yang dinakan dengan dunia yang penuh keanehan? Kenapa ia tak mengasihi mawar yang gugur ini yang dipetiknya di antara kelopak-kelopak?”
Ia meludah. Di dalam benaknya tergambar bahwa ia meludah di atas dunia.
Berlalulah waktu. Ia tidak tahu sudah berapa lama.
Ia bersumpah bahwa sejak hari itu ia tidak menghiraukan lagi segala persoalan kehidupan di dunia. Semuanya akan ditinggalkannya. Ia hanya akan hidup dalam berduka cita dan berputus asa. Di benaknya timbul permusuhan terhadap dunia, hingga kebaikan pun tak mau lagi ia mengerjakannya. Ia tak akan mengulurkan lagi tangannya kepada manusia untuk memberikan bantuan. Ia tak akan peduli apa sebab-sebab malapetaka yang menimpanya. Ia tak akan mengadakan perhitungan terhadap kesusahan yang dideritanya. Ia wajib membungakan segala kesusahan ini. Jika tidak, mengapa ia sendiri yang harus menelan segala kepahitan ini?
Ia memutuskan untuk mengikuti kemauan syetan. Ia seakan-akan membalas dedam terhadap malapetaka yang menimpanya. Ia bersumpah tak akan menanggalkan pakaian duka cita ini dari badannya.
Sore hari ke dua ia mulai mengantuk. Di dalam keadaan mengantuk itu dia menyadari dirinya berada dalam kubur. Ia telah melemparkan kain kafannya. Ia tak takut lagi mati. Bahkan ia merasa bahagia dengan mati itu. Yang sudah pasti sekarang ia telah masuk ke dalam dunia tempat Yasmin berada. Tentu ia akan melihat Yasmin, dan Yasmin melihatnya. Ia telah meninggalkan dunia yang dibencinya. Ia telah masuk ke pintu alam cahaya, mimpi yang indah, alam musik, burung-burung dan bunga-bungaan.
Tetapi di manakah Yasmin? Kenapa ia tak melihatnya? Kenapa Yasmin tak lekas menemuinya? Orang yang mengantarkan telah pergi. Ia mulai melihat ke dinding kubur. Dilihatnya dinding kubur itu bergerak semakin jauh. Kubur itu bertambah lama bertambah lapang, hingga sampai sejauh mata memandang. Tetapi sangat mengejutkan, sebab air laut masuk mengalir ke dalam kubur itu. Gelombang yang sangat keras mengangkatnya ke atas loteng, hingga jadilah kepalanya pecah. Ini pulalah yang menghalaunya ke ruangan yang penuh siksaan yang berat. Seorang laki-laki di tepi pantai berteriak: “Malang! Malang! Ia telah mati karena sedih atas kematian anaknya. Ia telah mati dalam niat yang jahat. Jiwanya diliputi kebencian terhadap manusia. Ia ingin merasakan bermacam-macam kesusahan untuk mengimbangi kecelakaan yang menimpanya.”
Laki-laki itu telah pergi. Dia dilemparkan oleh ombak lautan ke kuburannya yang baru. Dinding kubur itu semakin merapat. Lubang kubur itu semakin lama semakin sempit, hingga dinding kubur itu hampir menghancur-remukkan tulang-belulangnya. Ia berteriak. Ia melihat celah-celah di kubur itu. Dari sana ia melihat ke luar. Tiba-tiba ia melihat malam, dingin dan gelap. Seekor burung hantu bertengger di atas pohon tamar.
Kembali kubur itu menyempit lagi, hingga bertaut sampai menghancurkan tulang belulangnya, tanpa seorang pun mendengarkan pekikannya. Pekikannya tak kedengaran oleh siapa pun. Hingga burung hantu yang bertengger di atas pohon tamar itu tak melengong kepadanya ketika ia melihat kepada burung itu dengan penglihatan minta dikasihani.
Di depan lubang kubur itu berdiri raksasa yang hebat sekali, membawa sesuatu seperti tongkat yang ditujukan kepadanya.
Teman kita ini ialah orang yang telah menutup pintunya untuk orang banyak setelah kematian putrinya. Ia telah putus asa dalam mengetuk pintu. Ia hendak pergi saja. Tetapi sahabat kita yang baru terbangun ini lebih cepat di belakangnya berteriak: “Ya, Saudara, ya. Ke sinilah. Perlu apa?”
Sungguh telah pergi selubung dari matanya. Kepadanya telah terbuka hijab mimpi itu senantiasa terbayang di wajahnya. Permadani angin, jutaan manusia, bentuk protokol itu, pintu surga, suara Ridwan.
“Sesungguhnya disempurnakan orang yang sabar itu pahalanya tanpa berhisab.”

Muhammad Labib Al-Bauhi
Diambil dari: Kisah dan Hikmah (buku 1)

0 komentar: